Kamis, 23 Juni 2016

PUISI KASIH SAYANG UNTUK AYAH

Telah rapuh Tulang-tulangmu
Yang dahulu kau gunakan
Untuk memberikan kami sesuap nasi
Untuk menunaikan kewajibanmu sebagai kepala keluarga
Kini… Kau berdaya lagi melakukan semuanya
Kini… Kau hanya mampu memberikan kami nasehat
Kini… Kau hanya mampu mengucapkan do’a yang lurus untuk kami
Untuk… anak yang telah kau besarkan dengan kerja kerasmu
Ayah….
Air mata ini tak mampu membalas semuanya
Semua yang kau lakukan untuk hidup kami
Semua yang kau berikan kepada kami
Ayah…
Kasih sayangmu takkan mampu tergantikan orang lain
Perhatian yang kau berikan kepada kami takkan pernah kami lupakan
Walaupun terkadang kami tidak mengindahkan semua yang kau berikan
Terkadang kami tak pernah menghargai semua yang kau berikan

Selasa, 10 Mei 2016

MANUSIA DAN CINTA KASIH

A. Pengertian Cinta Kasih
      Suatu perasaan manusia yang berdasar pada ketertarikan antar makhluk hidup dengan didasari pula dengan rasa belas kasih.
- 3 unsur cinta : 1. Ketertarikan
                          2. Keintiman
                          3. Kemesraan
- 3 unsur cinta dalam cinta segitiga
- 3 unsur dalam tingkatan cinta

B. Cinta menurut Ajaran Agama Islam
-  Rahman (Al-An'am:125)
- Mawaddah (Ar-Rum/30:21)
- Mail
- Shobwah
- Kulfah

C. Kasih Sayang
      Perasaan cinta untuk saling menghormati, mengasihi, dan menyayangi semua makhluk hidup ciptaan Tuhan.

D. Kemesraan
      Memiliki kata dasar mesra yang artinya perasaan simpati yang akrab. Kemesraan adalah hubungan akrab antara pria dan wanita atau suami dan istri.

E. Pemujaan
      Perwujudan cinta manusia kepada Tuhan. Pemujaan kepada Tuhan adalah inti, dan makna kehidupan yang sebenarnya.

F. Belah Kasih
      Emosi manusia yang muncul akibat melihat penderitaan orang lain. Balas Kasih dilandaskan dengan rasa kasih sayang sesama manusia.

G. Cinta Kasih Erotis
      Kehausan akan penyatuan yang sempurna, akan penyatuan dengan seseorang lainnya. Cinta Kasih Erotis adalah rasa cinta yang dipenuhi oleh nafsu dan rasa ingin lebih memiliki suatu hal yang lebih.

Kamis, 21 April 2016

MASAKKAN TRADISIONAL DAERAH PALEMBANG

PEMPEK

      Pempek atau empek-empek adalah makanan khas Palembang yang terbuat dari ikan yang dihaluskan dan sagu, serta beberapa komposisi lain seperti telur, bawang putih halus, penyedap rasa dan garam. Sebenarnya sulit untuk mengatakan bahwa pempek pusatnya adalah Palembang karena hampir di semua daerah di Sumatera Selatan memproduksinya.
      Penyajian pempek ditemani oleh saus berwarna hitam kecoklat-coklatan yang disebut cuka atau cuko (bahasa Palembang). Cuko dibuat dari air yang dididihkan, kemudian ditambah gula merah, udang ebi dan cabe rawit tumbuk, bawang putih, dan garam. Bagi masyarakat asli Palembang, cuko dari dulu dibuat pedas untuk menambah nafsu makan. Namun seiring masuknya pendatang dari luar pulau Sumatera maka saat ini banyak ditemukan cuko dengan rasa manis bagi yang tidak menyukai pedas. Cuko dapat melindungi gigi dari karies (kerusakan lapisan email dan dentin). Karena dalam satu liter larutan kuah pempek biasanya terdapat 9-13 ppm fluor. satu pelengkap dalam menyantap makanan berasa khas ini adalah irisan dadu timun segar dan mie kuning.
      Jenis pempek yang terkenal adalah "pempek kapal selam", yaitu telur ayam yang dibungkus dengan adonan pempek dan digoreng dalam minyak panas. Ada juga yang lain seperti pempek lenjer, pempek bulat (atau terkenal dengan nama "ada'an"), pempek kulit ikan, pempek pistel (isinya irisan pepaya muda rebus yang sudah ditumis dan dibumbui), pempek telur kecil, dan pempek keriting.
      Menurut sejarahnya, pempek telah ada di Palembang sejak masuknya perantau Cina ke Palembang, yaitu di sekitar abad ke-16, saat Sultan Mahmud Badaruddin II berkuasa di kesultanan Palembang-Darussalam. Nama empek-empek atau pempek diyakini berasal dari sebutan "apek", yaitu sebutan untuk lelaki tua keturunan Cina sedangkan "koh", yaitu sebutan untuk lelaki muda keturunan Cina.
     Berdasarkan cerita rakyat, sekitar tahun 1617 seorang apek berusia 65 tahun yang tinggal di daerah Perakitan (tepian Sungai Musi) merasa prihatin menyaksikan tangkapan ikan yang berlimpah di Sungai Musi yang belum seluruhnya dimanfaatkan dengan baik, hanya sebatas digoreng dan dipindang. Ia kemudian mencoba alternatif pengolahan lain. Ia mencampur daging ikan giling dengan tepung tapioka, sehingga dihasilkan makanan baru. Makanan baru tersebut dijajakan oleh para apek dengan bersepeda keliling kota. Oleh karena penjualnya dipanggil dengan sebutan "pek … apek", maka makanan tersebut akhirnya dikenal sebagai empek-empek atau pempek.
      Namun cerita ini patut ditelaah lebih lanjut karena singkong baru diperkenalkan bangsa Portugis ke Indonesia pada abad 16. Selain itu velocipede (sepeda) baru dikenal di Perancis dan Jerman pada abad 18. Selain itu Sultan Mahmud Badaruddin baru lahir tahun 1767. Juga singkong sebagai bahan baku sagu baru dikenal pada zaman penjajahan Portugis dan baru dibudidayakan secara komersial tahun 1810. Walaupun begitu sangat mungkin pempek merupakan adaptasi dari makanan Cina seperti baso ikan, kekian ataupun ngohyang.
      Pada awalnya awalnya pempek dibuat dari ikan belida. Namun, dengan semakin langka dan mahalnya harga ikan belida, ikan tersebut diganti dengan ikan gabus yang harganya lebih murah, tetapi dengan rasa yang tetap gurih. Pada perkembangan selanjutnya, digunakan juga ikan sungai lainnya, misalnya ikan putak, toman, dan bujuk. Dipakai juga jenis ikan laut seperti Tenggiri, kakap merah, parang-paang, ekor kuning. Juga sudah ada yang menggunakan ikan dencis, ikan lele serta ikan tuna putih.

  • Bahan untuk membuat adonan

2,5 ons tepung terigu
1/2 liter air
2 buah bawang putih, ditumbuk agar halus
5 sdt garam
1/2 sdt penyedap rasa
2 sdt gula
6 ons ikan tenggiri, silahkan haluskan dengan cara di blender atau ditumbuk
4 ons tepung tapioka/ sagu
6 butir telur

  • Cara membuat pempek


1. Merebus air lalu masukkan tepung dan bumbu. Aduk-aduk sampai kental
2. Karena memkai ikan jadi tahap 2 mencampurkan bahan dengan ikan giling dan telur hingga lembut dan tak ada tepung yang bergelindir
3. Masukkan tepung tapioka sedikit demi sedikit sambil diaduk atau di ulenin


Referensi :
http://www.resepkafe.com/resep-cara-membuat-empek-empek-palembang-asli/
https://id.wikipedia.org/wiki/Pempek


ANALISA CERPEN PERI DAN HUTAN BERKABUT

PERI DAN HUTAN BERKABUT

      Disebuah desa hiduplah seorang anak perempuan yang lugu. Sheila namanya. Ia senang sekali bermain di tepi hutan. Ibunya selalu mengingatkannya agar tak terlalu jauh masuk ke hutan. Penduduk desa itu percaya, orang yang terlalu jauh masuk ke hutan, tak akan pernah kembali. Bagian dalam hutan itu diselubungi kabut tebal. Tak seorang pun dapat menemukan jalan pulang jika sudah tersesat.
       Sheila selalu mengingat pesan ibunya. Namun ia juga penasaran ingin mengetahui daerah berkabut itu. Setiap kali pergi bermain, ibu Sheila selalu membekalinya dengan sekantong kue, permen, coklat, dan sebotol jus buah. Sheila sering datang ke tempat perbatasan kabut di hutan. Ia duduk di bawah pohon dan menikmati bekalnya di sana. Sheila ingin sekali melangkahkan kakinya ke dalam daerah berkabut itu. Namun ia takut.
      Suatu kali, seperti biasa Sheila datang ke daerah perbatasan kabut. Seperti biasa ia duduk menikmati bekalnya. Tiba-tiba Sheila merasa ada beberapa pasang mata memperhatikannya. Ia mengarahkan pandangan ke sekeliling untuk mencari tahu. Namun Sheila tak menemukan siapa-siapa. “Hei! Siapa pun itu, keluarlah! Jika kalian mau, kalian dapat makan kue bersamaku,” teriak Sheila penasaran.
       Mendengar tawaran Sheila, beberapa makhluk memberanikan diri muncul di depan Sheila. Tampak tiga peri di hadapan Sheila. Tubuh mereka hanya separuh tinggi badan Sheila. Di punggungnya ada sayap. Telinga mereka berujung lancip. Dengan takut-takut mereka menghampiri Sheila. Anak kecil pemberani itu tanpa ragu-ragu menyodorkan bekalnya untuk dimakan bersama-sama. Peri-peri itu bernama Pio, Plea, dan Plop. Ketiga peri itu kakak beradik.        Sejak saat itu Sheila dan ketiga kawan barunya sering makan bekal bersama-sama. Kadang mereka saling bertukar bekal. Suatu hari Sheila bertanya kepada ketiga temannya, “Pio, Plea, Plop. Mengapa ada daerah berkabut di hutan ini? Apa isinya? Dan mengapa tak ada yang pernah kembali? Kalian tinggal di hutan sebelah mana?” tanya Sheila penuh ingin tahu. Mendengar pertanyaan Sheila ketiga peri itu saling bertukar pandang. Mereka tahu jawabannya namun ragu untuk memberi tahu Sheila. Setelah berpikir sejenak, akhirnya mereka memberitahu rahasia hutan berkabut yang hanya diketahui para peri.
       "Para peri tinggal di balik hutan berkabut. Termasuk kami. Kabut itu adalah pelindung agar tak seorang pun dapat masuk ke wilayah kami tanpa izin. Kami tiga bersaudara adalah peri penjaga daerah berkabut. Jika kabut menipis, kami akan meniupkannya lagi banyak-banyak. Jika ada tamu yang tak diundang masuk ke wilayah kami, kami segera membuatnya tersesat,” jelas Pio, Plea, Plop.
       Sheila terkagum-kagum mendengarnya. “Bisakah aku datang ke negeri kalian suatu waktu?” tanya Sheila berharap. Ketiga peri itu berembuk sejenak. “Baiklah. Kami akan mengusahakannya,” kata mereka. Tak lama kemudian Sheila diajak Pio, Plea dan Plop ke negeri mereka. Hari itu Sheila membawa kue, coklat, dan permen banyak-banyak. Sebelumnya, Sheila didandani seperti peri oleh ketiga temannya. Itu supaya mereka bisa mengelabui para peri lain. Sebenarnya manusia dilarang masuk ke wilayah peri. Ketiga teman Sheila ini juga memberi kacamata khusus pada Sheila. Dengan kacamata itu Sheila dapat melihat dengan jelas.
       Daerah berkabut penuh dengan berbagai tumbuhan penyesat. Berbagai jalan yang berbeda nampak sama. Jika tidak hati-hati maka akan tersesat dan berputar-putar di tempat yang sama. Dengan bimbingan Pio, Plea, dan Plop akhirnya mereka semua sampai ke negeri peri. Di sana rumah tampak mungil. Bentuknya pun aneh-aneh. Ada rumah berbentuk jamur, berbentuk sepatu, bahkan ada yang berbentuk teko. Pakaian mereka seperti kostum untuk karnaval. Kegiatan para peri pun bermacam-macam. Ada yang mengumpulkan madu, bernyanyi, membuat baju dari kelopak bunga… Semua tampak riang gembira.
      Sheila sangat senang. Ia diperkenalkan kepada anak peri lainnya. Mereka sangat terkejut mengetahui Sheila adalah manusia. Namun mereka senang dapat bertemu dan berjanji tak akan memberi tahu ratu peri. Rupanya mereka pun ingin tahu tentang manusia. Mereka bermain gembira. Sheila dan para anak peri berkejar-kejaran, bernyanyi, bercerita dan tertawa keras-keras. Mereka juga saling bertukar makanan. Pokoknya hari itu menyenangkan sekali.
       Tiba-tiba ratu peri datang. “Siapa itu?” tanyanya penuh selidik. “Ratu, dia adalah teman hamba dari hutan utara,” jawab Plop takut. Ia terpaksa berbohong agar Sheila tak ketahuan. Ratu peri memperhatikan Sheila dari ujung rambut sampai ujung kaki. Setelah itu ia pergi. Sheila bermain lagi dengan lincah. Namun sayang ia terpeleset. Sheila jatuh terjerembab. Ketika itu cuping telinga palsunya copot. Ratu peri melihat hal itu. Ia amat marah.
      "Manusia! Bagaimana ia bisa sampai kemari? Siapa yang membawanya?” teriaknya mengelegar. Pio, Plea, dan Plop maju ke depan dengan gemetar. “Kami, Ratu,” jawab mereka gugup. “Ini pelanggaran. Jika ada manusia yang tahu tempat ini, maka tempat ini tidak aman lagi. Kalian harus dihukum berat,” teriak ratu peri marah. Sheila yang saat itu juga ketakutan memberikan diri maju ke depan. “Mereka tidak bersalah, Ratu. Akulah yang memaksa mereka untuk membawaku kemari.” “Kalau begitu, kau harus dihukum menggantikan mereka!” gelegar ratu peri.
       Sheila dimasukkan ke dalam bak air tertutup. Ia akan direbus setengah jam. Namun ketika api sudah dinyalakan ia tidak merasa panas sedikit pun. “Keluarlah! Kau lulus ujian, ” kata ratu peri. Ternyata kebaikan hati Sheila membuat ia lolos dari hukuman. Ia diperbolehkan pulang dan teman perinya bebas hukuman. Ratu peri membuat Sheila mengantuk dan tertidur. Ia menghapus ingatan Sheila tentang negeri peri. Namun ia masih menyisakannya sedikit agar Sheila dapat mengingatnya di dalam mimpi. Ketika terbangun, Sheila berada di kasur kesayangannya.
 
http://www.ceritaanak.org/index.php/kumpulan-cerita-dongeng-anak/71-cerita-anak-peri-dan-hutan-berkabut

Analisa Cerpen
1.      Unsur Instrinsik
·         Tema : Anak yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi
·         Alur : Maju
·         Sudut pandang : Orang ketiga serba tahu
·         Latar :
a.       Tempat
·         Desa
Di sebuah desa hiduplah seorang anak perempuan yang lugu.
·         Hutan
Sheila sering datang ke tempat perbatasan kabut di hutan. Ia duduk di bawah pohon dan menikmati bekalnya di sana
·         Negeri peri
Dengan bimbingan Pio, Plea, dan Plop akhirnya mereka semua sampai ke negeri peri
b.      Waktu: pagi hari

Suatu kali, di pagi hari seperti biasa Sheila datang ke daerah perbatasan kabut

c.       Suasana

·         Menyenangkan
Sheila sangat senang. Ia diperkenalkan kepada anak peri lainnya.
·         Mengagumkan
Sheila terkagum-kagum mendengarnya. “Bisakah aku datang ke negeri kalian suatu waktu?” tanya Sheila berharap.
·         Mengejutkan
“Manusia! Bagaimana ia bisa sampai kemari? Siapa yang membawanya?” teriaknya mengelegar. Pio, Plea, dan Plop maju ke depan dengan gemetar.
·         Mengharukan
Sheila dimasukkan ke dalam bak air tertutup. Ia akan direbus setengah jam. Namun ketika api sudah dinyalakan ia tidak merasa panas sedikit pun. “Keluarlah! Kau lulus ujian, ” kata ratu peri. Ternyata kebaikan hati Sheila membuat ia lolos dari hukuman. Ia diperbolehkan pulang dan teman perinya bebas hukuman.

 Analisa Cerpen

1.      Unsur Instrinsik
·         Tema : Anak yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi
·         Alur : Maju
·         Sudut pandang : Orang ketiga serba tahu
·         Latar :
a.       Tempat
·         Desa
Di sebuah desa hiduplah seorang anak perempuan yang lugu.
·         Hutan
Sheila sering datang ke tempat perbatasan kabut di hutan. Ia duduk di bawah pohon dan menikmati bekalnya di sana
·         Negeri peri
Dengan bimbingan Pio, Plea, dan Plop akhirnya mereka semua sampai ke negeri peri
b.      Waktu: pagi hari

Suatu kali, di pagi hari seperti biasa Sheila datang ke daerah perbatasan kabut

c.       Suasana

·         Menyenangkan
Sheila sangat senang. Ia diperkenalkan kepada anak peri lainnya.
·         Mengagumkan
Sheila terkagum-kagum mendengarnya. “Bisakah aku datang ke negeri kalian suatu waktu?” tanya Sheila berharap.
·         Mengejutkan
“Manusia! Bagaimana ia bisa sampai kemari? Siapa yang membawanya?” teriaknya mengelegar. Pio, Plea, dan Plop maju ke depan dengan gemetar.
·         Mengharukan
Sheila dimasukkan ke dalam bak air tertutup. Ia akan direbus setengah jam. Namun ketika api sudah dinyalakan ia tidak merasa panas sedikit pun. “Keluarlah! Kau lulus ujian, ” kata ratu peri. Ternyata kebaikan hati Sheila membuat ia lolos dari hukuman. Ia diperbolehkan pulang dan teman perinya bebas hukuman

-          Tokoh

·         Sheila
·         Ibu Sheila
·         3 peri (Pio, Plea, dan Plop)
·         Ratu peri

-          Penokohan

·         Sheila : baik dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi
·         Ibu Sheila : penyayang dan sering member nasihat
·         3 peri (Pio, Plea, dan Plop) : baik dan menyenangkan
·         Ratu peri : tegas

2.      Unsur Ekstrinsik
-          Nilai sastra
a.       Budaya :  penduduk desa itu percaya, orang yang terlalu jauh masuk ke hutan, tak akan pernah kembali. Bagian dalam hutan itu diselubungi kabut tebal. Tak seorang pun dapat menemukan jalan pulang jika sudah tersesat.
b.      Moral : siapa yang menanam kebaikan akan mendapatkan kebaikan pula.
-          Amanat
·         Melakukan segala sesuatu harus dengan dilandasi hati yang tulus. Janganlah berbuat yang dapat merugikan orang lain karena itu akan kembali kepada kita. Jika kita menanam kebaikan kepada orang lain pasti akan mendapatkan balasan kebaikan.


Rabu, 16 Maret 2016

LEGENDA DESA LEGETANG

DESA LEGETANG

      Dukuh Legetang adalah sebuah daerah di lembah pegunungan Dieng tepatnya di Desa Pekasiran kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia. Pemandangan alam yang indah dan hasil alam yang berlimpah menjadikan penduduk Dukuh Legetang hidup makmur, namun bukannya bersyukur masyarakat  Dukuh Legetang umumnya ahli maksiat. Perjudian merajalela, minum-minuman keras, dan setiap malam mereka mengadakan pentas lengger (suatu kesenian yang dibawakan oleh para penari perempuan) yang akhirnya berujung pada perbuatan maksiat. Prilaku homoseks, seks bebas dan beragam kemaksiatan lainnya sudah sangat lumrah di Dukuh Legetang, bahkan kabarnya disana hanya ada satu musholah dan itu pun dijadikan untuk memelihara anjing dan area bermain judi.
      
      16 April 1955, adalah hari dimana Dukuh Legetang tiba-tiba lenyap dari permukaan bumi. Disaat semua penduduk asik menikmati pentas lengger, musibah ini pun terjadi. Potongan puncak gunung Pengamun-amun yang beberapa minggu sebelumnya telah terlihat retakannya mengubur Dukuh Legetang. Gemuruh gamelan dan suara para penduduk yang tadinya huru-hara seketika menjadi sunyi. Sebanyak 332 jiwa penduduk Dusun Legetang dan 19 orang dari desa tetangga yang tengah berkunjung ke dusun tersebut ikut tertimbun dan dianggap meninggal.

      Yang menjadi misteri hingga saat ini adalah mengapa kawasan antara kaki gunung dan perbatasan Dusun Legetang yang berjarak beberapa ratus meter tidak ikut tertimbun ? Seandainya gunung Pengamun-amun sekedar longsor, maka longsoran itu hanya akan menimpa sungai dan jurang yang berada dibawahnya, namun sebaliknya lah yang terjadi. Dukuh Legetang yang berada cukup jauh lah yang menjadi sasaran longsor, sedangkan sungai dan jurang yang berada di bawah gunung masih ada sampai sekarang.

      Pencarian terhadap korban kala itu hanya dipusatkan pada titik yang diduga merupakan lokasi rumah kepala dusun bernama Rana. Setelah dilakukan penggalian yang cukup lama oleh warga, beberapa korban pun bisa di evakuasi namun tak sedikit juga warga yang dibiarkan terkubur disana. Istri Rana yang bernama Kastari merupakan satu-satunya korban selamat dari tragedi ini karena ia pergi dari rumah sebelum gunung Pengamun-amun melenyapkan Dukuh Legetang. Kini tanah lokasi bekas bencana itu sedikit demi sedikit digarap warga untuk budidaya tembakau dan sayur. Suasana Dieng dan sekitarnya pun kini sangat semarak dengan religius, bahkan pengajian menjadi salah satu program wajib desa. Sebagai tanda inmemorial, diatas bukit bekas Dukuh Legetang dibuat tugu peringatan dari beton setinggi 10 m. Semoga kisah Dukuh Legetang ini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa setiap perbuatan kita di dunia ini akan mendapat balasan dari Allah, baik sekarang ataupun diakhirat nanti.


Referensi:

TORAJA

TORAJA
  1. ASAL USUL
      Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
      Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.

      2. SEJARAH

Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, adalah tempat asal suku Toraja. Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok penutur bahasa Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17 Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan budak yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.
Penduduk muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

3. LETAK GEOGRAFIS

 Suku Toraja mendiami wilayah bagian utara jazirah Sulawesi Selatan yang berbatasan langsung dengan Sulawesi Tengah. Daerah Tana Toraja berbatasan dengan Kabupaten Luwu di sebelah Timur, Kabupaten Enrekang bagian Selatan, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Polewali, dan bagian utara berbetasan Propinsi Sulawesi Tengah.
Letak daerah Tana Toraja terbentang mulai dari KM 280 sampai dengan 355 Km dari ibu kota propinsi sulawesi selatan, Makassar. Luas wilayah Tana Toraja adalah 3.205,77 KM atau sekitar 5% dari luas Propinsi Sulawesi Selatan terletak antara 119-120 derajat BT dan 02-03derajat LS. Kondisi topdaerah ini terdiri atas pegunungan kurang lebih 40% dataran tinggi kurang lebih 20% dsataran rendah kurang lebih 38%, rawa-rawa dan sungai kurang lebih 2%. Tana Toraja berada di atas ketinggian antara 600m - 2800 m dari permukaan laut.
Letak daerah Tana Toraja terbentang mulai dari KM 280 sampai dengan 355 Km dari ibu kota propinsi sulawesi selatan, Makassar. Luas wilayah Tana Toraja adalah 3.205,77 KM atau sekitar 5% dari luas Propinsi Sulawesi Selatan terletak antara 119-120 derajat BT dan 02-03derajat LS. Kondisi topdaerah ini terdiri atas pegunungan kurang lebih 40% dataran tinggi kurang lebih 20% dsataran rendah kurang lebih 38%, rawa-rawa dan sungai kurang lebih 2%. Tana Toraja berada di atas ketinggian antara 600m - 2800 m dari permukaan laut.

4.KESENIAN DAN KEBUDAYAAN
  • Tongkonan 
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk"). Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
  • Ukiran Kayu
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.

Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik. Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun. Suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.
  • Upacara Pemakaman
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah. Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya. Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.

Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
  • Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, perisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras. Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.

5. BAHASA

Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja. Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.

6. EKONOMI

Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dikenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.


Referensi:

http://Suku%20Toraja%20%20Wikipedia%20bahasa%20Indonesia,%20ensiklopedia%20bebas.tml